Kopi Tanpa Gula
Baik
awalnya memang tak wajar aku merasakan ini. Ada sedikit penolakan saat berada
diantara kumpulan orang-orang ini. Ada terasa mereka mengambil wilayah
kekuasaanku. Mereka bertingkah dengan sedikit over dalam takaranku. Dalam takaran
secawan gelasku. Gelas kopi yang sedikit lebih mulai berkurang. Pahit, tanpa
gula memang. Namun pahit ini terasa begitu hebatnya saat akhirnya manis itu
hanya sekedar disandingkan. Hanya bersanding namun itu sudah lebih dari cukup,
terasa manis sangat bahkan tanpa aku buka wadahnya. Kopinya tinggal setengah,
pahitnya masih dalam posisi penuh. Takarannya begitu padat tak tertakar
bahnkan. Pahitnya menutupi keenggananku berada dalam lingkup ini. Lingkup dimana
dua orang wanita berbincang dengan empat orang pria.
Mungkin
dalam takaran hal perbincangan mereka sudah cukup takarannya. Tapi terasa
terlalu berlebih dalam takaran. Manisnya mereka tuang terlalu berlebih, hingga
kopi tanpa gulaku terasa terlalu menis untuk sekedar di pandangi. Terlalu manis
hingga membuatku mual, pening, terserang di bawah titik takaran, ku.
Mereka
masih berbincang, membicarakan hal-hal ku yang terlalu manis untuk takaran
kopiku, kopiku menjadi terlalu manis bahkan untuk ku minum. Tawamereka terasa
meluap, melewati takaran kopiku. Kopiku tak lagi terasa pahit. Aku tak suka. Rasanya
semua mebuatku menjadi orang yang hanya menatap layar yang terlalu terang
terlalu perih.
Entah,
mungkin jika orang lain yang berada ditempatku akan merasakan terasing, menjadi
kopi yang teringgal ampasnya saja. Tak terasa rasannya, yang pahit. Terlalu membaur
dalam manisnya obrolan mereka yang membuatku mual.
Suara
dua orang gadis itu menjadi yang paling dominan diantara empat pria disekitar
mereka. Menjadi yang paling manis,
mungkin. Mendominasi semua perbincangan. Memadukan semua jenis yang ada. Kopiku
tinggal seperempat. Rasanya masih pahit. Tapi mataku tak dapat menahan lelah
yang menggantung dimataku. Suara mereka semakin mendayu membuatku lelah.
Dan
bukanlah aku yang memilih untuk mengakhir perkumpulan ini, namun mereka yang akhirnya
menyingkir berharap mendapat tempat yang lebih manis. Dibandingkan disini,
dimana kopiku mulai menguasain seisi meja, tampa harus berbincang. Pahitnya mulai
menguasai semua manis dan mengembalikan takaran sesharusnnya.
Takaran
kopiku talah kembali seperti semula. Duduk di tengah keramaian warung kopi yang
menemaniku. Menerbangkan arah khayalku pada setiap mereka yang dating, hingga
akhirnya menjadi bagian dari ceritaku.
Komentar