SELESAINYA PERSELINGKUHAN KOPI
Entah
tulisan ku tentang kopi manggarai dan juga Palembang itu hilang kemana. Hingga
hari ini aku kembali merasakan racikan kopi yang pas, setelah sempat mencoba
berganti suasana, yang riuh dan gagap gempita. Aku kembali lagi ke kedai yang
biasa aku singgahi. Setelah beberapa waktu tergiur dengan cercah menggoda
signal wifi di warung kopi “selingkuhan”, aku pun kembali lagi ke kedai ini.
Disini
memang riuh gagap gempita, namun itu karena tidak ada gangguan wifi atau sejenis lainnya. Orang-orang di sini riuh
dengan kata antara mereka. Tak ada yang terpaku di layar gadget mereka. Ya, walau ada beberapa diantara mereka yang masih terpaku masing-masing dengan HP, dengan layanan
Aku
ternyata tipe orang yang tak mudah berpaling lama dari rasa yang lama, yang
sebelumnya telah ku rasakan keterpikatannya. Lidahku, otakku ternyata tak mudah
terpikat dengan rasanya yang tak terlogikakan. Ketika sekalinya lidah ini terhianati
dan otakku mulai memberontak, maka aku
akan kembali ketitik awal, dimana rasa itu menyentuh lidahku, asam kopi itu.
Kembali
aku ke kedai kopi ini, setelah beberapa waktu ini aku berlari kian kemari
mencari ketenangan dengan harga yang mahal. Aku pun tak bisa terus berlari. Aku
kembali ke sini. Dengan mencoba rasa baru dari racikan kopi yang sama. Aku
selalu mencoba merasakan citarasa Arabica, rasa-rasa masam yang mengusir
kelelahan hari ini. Aromanya yang tipis pun menepis resah.
Kopi
Kopi
yang ku sesap diawal ini terasa gurih. Belum penuh betul memang rasa dari kopi
ini, karena ini baru di permukaan. Aku sesap beberapakali kopi lewat sendok ku,
hingga ku rasa cukup aku lidahku beradaptasi. Lalu sedikit, mulai ku sesap kopi
lewat pinggir cangkirku. Hemmmmm, memang lidahku tak bisa dihianati oleh kopi
seduhan air panas biasa. Kopi ini benar-benar terasa gurih, bukan karena
sekedar diseduh dengan air panas dari teremos, tapi benar-benar dari air yang
di panaskan. Bukan dari kopi bubuk yang telah lama tersimpan, namun dari kopi
utuh yang baru dihaluskan sesaat sebelum disajikan. Butir-butir kasar ampas
kopi yang masih belum hancur pun mengambang dipermukaan cangkir, ikut masuk
berkenalan dengan lidahku.
Ku
singkirkan butir-butir ampas yang mengambang itu. Hingga akhirnya aku bisa
menikmati kopi ini lagi. Namun, ini masih permukaannya, yang terasa sekedar
gurih. Aku belum bisa merasakan rasa yang sesungguhnya. Akhirnya ini saatnya.
Kopi ini mulai ku aduk sampai dasar, hingga serbuk kopi yang mengendap pun
dapat dengan mudah naik, dan benar-benar menyebar, memenuhi setiap lini, cairan
dalam cangkir. Setelah mereka bebas menari dan menyebar, aku pun mulai
menyesapnya. Menyesap aroma asli, menyesap rasa yang asli dari sebaran kopi
ini.
Hemmmmm,
aku benar-benar menikmatinya. Inilah yang kurindukan, rasa kopi ini, yang masam
seperti ini .
15/12/14
Komentar